Belajar Menulis ada Dahlan Iskan

Catatan Djono W Oesman
PENGALAMAN SAYA DIMARAHI DAHLAN (1)

Kenalkan: Guru jurnalistik saya Dahlan Iskan. Tapi dia tipe pemarah. Semua wartawan Jawa Pos, termasuk saya, sering dimarahi. Dahlan dan marah bagai amplop dan perangko, lengket. Maka, saat dia membanting kursi di pintu tol, saya nonton beritanya di TV, ketawa ngakak…
-----------------------

Di Hari Guru (hari ini) saya cuplikkan dua kisah (serial): Saya dimarahi Dahlan. Yakni, pertama kali saya dimarahi Dahlan, ketika saya baru beberapa bulan jadi wartawan JP di Surabaya (akhir ’84). Sehingga saya ingat betul peristiwanya. Kedua, pada beberapa tahun sesudahnya.

Di awal saya berkarir di JP, tirasnya sekitar 11 ribu eksemplar per hari. Ini sudah top di Jatim. Sebelum dipimpin Dahlan, nyaris mati dengan tiras gak sampai 2 ribu. Lalu take over (dibeli) Majalah Tempo pada ’82. Dahlan semula Kabiro Tempo Jatim, ditunjuk Bos Tempo jadi Pemred JP.

Koran lain di Jatim, sudah dilewati. Memorandum 10 ribu per hari, Suara Indonesia 7 ribu, Radar Kota seribu, mati di medio ’84 (saya wartawan disitu setahun). Tapi, Surabaya Post 100 ribu lebih, dan stabil. Dia rajanya Jatim. Inilah yang hendak dilawan Dahlan.

“Kita harus jadi yang utama di Jatim. Kita kalahkan Surabaya Post,” katanya berapi-api. Padahal, tiras JP seper-sepuluh SP. Untuk melawan, hanya ada satu jalan: Unggul di kualitas berita. Tiada lain. Andai nilai berita SP (average) 6,5 JP minimal harus 8 (skala 0 – 10).

“Berita kalian jelek-jelek….” teriak Dahlan, hampir tiap hari. “Saya heran, kalian ini sarjana. Tapi karyanya kayak anak SMP gini. Sarjana cap apa kalian?” bentaknya. Marah… marah… marah… Saya bergurau membisiki teman: “Aku kuliah mbayar pijet (memijati dosen-2nya). Cap opo iki?” Teman ketawa, Dahlan tambah marah.

Maka, pada akhir ’84 Dahlan menginstruksikan, semua redaktur dan wartawan JP di Surabaya masuk “bengkel”, sebab gak bener semua. Bengkel, istilah yg dicetuskan Pak Dahlan, artinya pendidikan.

Dia tutor tunggal di ruang rapat kantor redaksi JP (saat itu) Jl Kembang Jepun, Surabaya. Jam belajar pk 07.00 s/d 09.00 tiap hari, kecuali Sabtu dan Minggu. Semua wajib ikut. Usai belajar, wartawan berpencar hunting berita. Itu selama 5 bulan.

Disitulah saya tahu, Dahlan memang hebat. Dia bukan saja sangat ahli jurnalistik, tapi juga punya feeling bisnis kuat terkait berita. Semangat kerjanya gila-2an.

Berita wartawan dibedah habis. Caranya, berita karya wartawan (hasil ketik mesin kuno Olivetti) dan belum diedit redaktur, di-kopi sebanyak jumlah peserta belajar. Esok paginya, dibagi dlm kelas. Jadi, semua peserta, memegang berita karya dia sendiri dan teman-2. Tutor membaca keras-2 berita, satu demi satu.

Tutor membaca satu paragraf awal (disebut lead berita) lalu berhenti. “Ada komentar terhadap lead ini?” tanya Dahlan. Semua diam. Semua membisu. Lewat 10 menit, tak ada yg bicara. Kening Dahlan mengekrut, memandang wajah-2 anak buahnya yg terpekur mengamati naskah.

“Sudah bagus, Pak,” celetuk seorang kawan.

Saya menduga, kawan ini berharap pelajaran akan lanjut, cepat selesai, cepat bubar. Sebab, usai Bengkel pk 09.00 kami harus ke lapangan mencari berita. Atau, dia segan mengkritik berita temannya (naskah yg dibahas bukan karya dia).

“Parah sekali…” ujar Dahlan setengah berteriak. Suasana hening bagai disobek letus petasan. Dia membanting tumpukan naskah di tangannya, berdiri, jalan menjauhi meja meeting. “Kalian ini sarjana cap apa?” teriaknya di nada tanya. Sepi senyap.

Saya amati, lead berupa 3 kalimat panjang. Teori 5 W (what, who, when, where, why) sudah masuk. Sedangkan 1 H (how) memang tak wajib masuk ke lead. Bisa di paragraf 2 atau 3. Sudah komplit sebenarnya. Cuma, saya rasakan lead agak janggal.

Saya sedang menyusun kalimat pengganti. Tapi, harus baca seluruh naskah dulu untuk mengetahui ‘penyakitnya’. Berhadapan dg Dahlan, gak bisa asal ngomong. Bisa konyol. Lagian, ini pelajaran hari pertama. Saya harus mengukur dulu, kemana arah analisis Dahlan.

Tak sabar, Dahlan menjelaskan: “Tidak ada hubungan kausalitas (sebab-akibat) antara kalimat pertama dg kedua. Malah, kalimat ketiga sudah lari lagi.” Dia lalu menulis lead pengganti (editing) di papan. Lead hanya 2 kalimat, tidak panjang. Dan, enak dibaca. Luar biasa…

“Bagaimana, Dwo?” tanyanya. Saya kaget. Beralih, dari terpekur ke naskah, kini memandang wajah dia. “Betul editing Pak Dahlan. Enak dibaca, Pak,” kataku.

“Betul apanya?” desaknya.

“Hubungan kausalitas, mutlak di setiap paragraf. Apalagi di lead, sebagai etalase berita.”

“Coba jelaskan hubungan kausalitas.”

“Ilustrasi: Agus lari terbirit-birit dikejar anjing saat berangkat kuliah. Dia mahasiswa fakultas teknik sipil Unair penyandang bea siswa. Dua kalimat ini sama benarnya, tapi tidak ada hubungan kausalitas.”

“Lanjut…”

“Kalimat kedua mestinya: Sejak itu, dia tak lagi jalan kaki ke kampus, melainkan naik motor….” Saya belum selesai menjelaskan, Pak Dahlan tepuk tangan sekali, lalu menunjuk saya: “Itulah kausalitas….

“Maaf, Pak, saya lanjutkan. Dan, hubungan kausalitas, ada di lead yg tertera di papan.”

“Yak….”

Suasana hening kembali.

Ini materi yg sudah saya pahami sejak SMA. Ketika saya rajin ikut lomba menulis Novelet (novel pendek) Majalah Kartini. Berkali-kali ikut, hanya sekali menang juara harapan 2, saat saya udah kuliah. Tapi, naskah Novelet panjangnya minimal 100 halaman folio. Bandingkan dg berita yg hanya 1,5 folio.

Pak Dahlan memecah kesunyian: “Pokoknya, ingat kausalitas, ingat Agus dikejar anjing,” katanya. Kelas mulai mencair. Ada yg berani tertawa. Pelajaran pun dilanjutkan.

KATA PERTAMA PENTING? MASAK SIH?

Di hari lain, muncul bintang kelas juga. Nama popularnya Yok Sudarso. Nama asli Cahyo Sudarso Brata. Dia penulis handal. Tulisannya, terutama jenis features, bagai mantra penyihir, melenakan pembaca.

Kasus kali ini, lead juga. Samar-samar saya ingat begini: “Pameran lukisan bertema perjuangan akan dibuka Walikotamadya Surabaya, Muhadji Widjaja di Balai Budaya, besok malam. Pameran yang diikuti para pelukis Surabaya itu menyajikan aneka lukisan perjuangan kemerdekaan.”

Pak Dahlan menganggap lead ini lemah. “Siapa bisa memperkuat?” tanyanya. Lagi-lagi, semua diam.

Menurutku, lead terdiri 2 kalimat ini sudah enak. Ringkas, padat, masing-masing kalimat tak lebih dari 15 kata, seperti ajaran Pak Dahlan. Unsur 4 W sudah masuk (tidak ada why yg memang bukan mutlak di lead). Kausalitas juga ada, pokoknya enak dibaca. Apanya yg lemah?

Saya berpikir keras. Saya tahu, tutor menunggu saya angkat tangan. Saya tahu, bahwa dia tahu saya menguasai ilmu penulisan. Ini membuat saya grogi. Andai tiba-2 dia menunjuk, apa yg akan kukatakan?

Tak dinyana, Yok Sudarso angkat tangan. “Silakan, Yok,” sambut Dahlan.

“Sebaiknya kalimat dibalik, menampilkan deskripsi lukisan perjuangan yg akan dipamerkan. Dan, deskripsi itu diletakkan di kalimat pertama.

“Bagus… bagus… anda jeli sekali.”

Saya bagai terjaga dari tidur. Sekilas tadi saya baca di bagian tengah naskah, ada lukisan yang akan dipamerkan bergambar pertempuran di Jembatan Merah, Surabaya. Itu pertempuran dahsyat, bersejarah. Itu menarik.

Dijelaskan Dahlan, lead yg bagus harus dibuka, bukan saja oleh kalimat pertama yg bagus, tetapi juga kata pertama yg berbobot. “Nah, lebih berbobot mana: Deskripsi lukisan atau Walikota sebagai kata pertama?” tanyanya.

Super… super… super… Kali ini saya terbelalak. Saya tak menduga, kata pertama menjadi perhitungan. Selama ini perhatian saya di kalimat pertama, bukan kata pertama. Dahlan memang sangat ahli disini.

Jawaban peserta beragam, terbagi dua: Deskripsi dan Walikota. Golongan pertama kalimatnya begini: “Pertempuran dahsyat di Jembatan Merah 1945 dalam lukisan, akan dipamerkan di Balai Budaya, besok malam. Pameran itu akan dibuka Walikota…

Golongan kedua: “Walikotamadya Surabaya Muhadji Widjaja akan membuka pameran lukisan, antara lain, lukisan pertempuran dahsyat di Jembatan Merah 1945. Pameran akan dibuka besok malam di Balai Budaya.”

Kata Dahlan, keduanya sama-sama kuat, dibanding naskah awal. Namun dia lebih condong ke bentuk pertama: Pertempuran.

Kami saling mengasah logika. Kami sangat hati-hati bicara. Sebab Dahlan sering mengungkit-ungkit gelar sarjana. Ngomong sembarangan bakal konyol, diam saja bisa ditunjuk diminta komentar.

Dijelaskan Tutor, nasib koran, antara lain, ditentukan lead berita. Lead bagus memiliki daya menyeret pembaca. Kalau pembaca sudah terseret membaca, logika tulisan harus terjaga, selain akurasi sebagai harga mati. Jika pembaca merasa enak membaca, koran laku dan tiras naik. Tiras tinggi menarik konsumen iklan. “Pendapatan iklan, antara lain, untuk menggaji anda semua,” katanya. Inilah liku-liku nyawa koran. Luar biasa…

AKHIRNYA SAYA DIMARAHI

Ada kasus unik yg dibahas di kelas. Karya kawan Sugeng Irianto (alm) yg ngepos di UGD RSUD Dr Soetomo, Surabaya. Berita tentang isteri masuk UGD gara-gara dianiaya suaminya.

Karena ini berita kecil (tak begitu menarik) dan dibahas paling akhir, maka dibaca cepat oleh Tutor Dahlan. Jenis ini jadi stopper (semacam pengganjal halaman, agar tidak kosong). Lead langsung ok, paragraf 2 lanjut, ke-3 pun ya… bolehlah.

Di tengah ada direct quotation narasumber. Isteri: “Saya tidak terima. Isteri maunya dijadikan pukul-pukulan terus, ya saya tidak sudi.”

Bagian ini dibaca sampai tiga kali oleh tutor. “Saya tidak mengerti kalimat ini. Ada yg bisa memperbaiki?” tanyanya. Semua diam, semua bisu. Dahlan lalu main tunjuk. Tapi kedua peserta yang ditunjuk menyatakan, tak ada komentar.

“Kalimat: Isteri maunya dijadikan pukul-pukulan terus. Bagaimana sih maksudnya?” tanya Tutor. Pemilik berita menjawab: “Begitulah ucapan narasumber, Pak. Ucapan kan tidak boleh diubah.”

Dahlan mengamati naskah lagi. Kelihatan dia tidak puas. Saya sudah siapkan argumen. Cuma saya tidak angkat tangan. Rasanya lebih enak didengar jika inisial saya dipanggil Tutor. Hehehe…

“Bagaimana, Yok,” tegur Tutor.

“Ini harus ditelusuri konteks pembicaraan narasumber. Di naskah tidak ada back ground yg mengarah ke direct quotation tersebut.”

Sepi. Semua bagai masuk jalan buntu. Jam dinding lewat pk 09.00 mestinya kelas usai sejak tadi. Wajah-wajah lelah, wajah-wajah gelisah, ingin cepat ke lapangan. Akhirnya, “Ya sudah… biar saja kalimat ini begini. Sampai jumpa besok,” ujar Dahlan sambil menggosok kedua telapak tangan, tanda pelajaran selesai.

Busyet… aku gak ditunjuk. Padahal…

Saya angkat tangan: “Bolehkah saya berpendapat, Pak?”

Dahlan ketawa… “Dari tadi ditunggu, nggak bicara. Ya… apa pendapatmu?”

“Saya menduga, narasumber menggunakan bahasa Jawa, Suroboyoan. Penulisnya menterjemahkan dalam bahasa Indonesia, tapi tetap menggunakan idiom Jawa Timur.”

Tutor cepat bereaksi: “Pendapatmu tepat sasaran…”

“Saya kira semua orang Jatim paham ini,” ujar saya.

Tak kusangka, Dahlan menatap tajam ke saya. “Saya orang Jatim,” ujarnya sengit. Seketika saya sadar, bahwa saya kelewat pede. Jadinya sombong. Pak Tutor kayaknya tidak suka ucapan saya terakhir. Hendak minta maaf, keburu kelas sudah dibubarkan.

Esoknya, tak sengaja saya terlambat lima menit. Ruang kelas sudah ditutup. Waduuuh… selama ini belum ada yg terlambat. Saya ketok, buka pintu, masuk. Ternyata….

“Dwo keluar. Terlambat dilarang masuk, tidak perduli penulis bagus,” kata Tutor.

Semua mata memandang ke saya. Dengan malu, saya kembali keluar, dan menutup pintu. Pikiran saya melayang ke peristiwa kemarin. Apakah Pak Dahlan masih marah ke saya? Tapi, nyatanya saya memang terlambat. Dan, saya belum kenal bahwa Pak Dahlan ternyata sangat disiplin.

Esoknya dan esoknya lagi saya tidak pernah terlambat, dan tetap belajar. Namun, sejak “isteri dijadikan pukul-pukulan” itu, saya dihajar tugas-tugas sulit selama sepekan. Untungnya bisa saya atasi, walau tidak semua hasilnya berpredikat memuaskan.

Saya tahu, Pak Dahlan marah ke saya. Sampai beberapa tahun kemudian, saya sadari bahwa saat itu saya sombong. Buktinya, waktu itu saya pakai kaos sablonan tetangga saya. Tulisannya: “I was Young, and I am Proud”

Saya sekaligus merasa, Pak Dahlan bukan saja guru jurnalistik saya, tapi juga guru kepribadian saya. Seolah dia berkata: Kalau bisa, jangan sombong. Kalau nyombong, berpura-puralah bisa. (bersambung 24 jam)


EmoticonEmoticon