Istilah Holopis Kuntul Baris

darimana Istilah Holopis Kuntul Baris @IRNewscon I : Korupsi di Indonesia sudah mengakar. Dari pegawai administrasi kelurahan sampai pejabat tinggi, korup. Eksekutif, legislatif, yudikatif, sama saja, korup semua. Sampai dibentuk lembaga khusus, KPK, walaupun di Kejaksaan sudah ada bidang “Pidana Khusus” yang spesial menangani korupsi. Pun korupsi tetap banyak. Komitmen pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah mencanangkan: Anti korupsi. Bahkan, sepanjang sejarah Indonesia merdeka, baru di era kepemimpinan SBY inilah paling banyak koruptor dibui. Tapi, belum tuntas juga. Malah, beberapa pihak berupaya melemahkan kewenangan KPK. Payah, deh… Slogan Para Kuli Pelabuhan Perlu gotong-royong masyarakat memberantas korupsi. Orang Surabaya bilang: Gerakan “Holopis Kuntul Baris”. Jika ada pekerjaan berat, warga Surabaya bergotong-royong sambil meneriakkan yel: Holopis kuntul baris… Yel ini, kata guru SD-ku, slogan produk zaman Belanda. Dikisahkan, sekitar 1940-an di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya ada pegawai bernama Du Lopez Conte du Bare. Orangnya tinggi besar. Lebih tinggi dan lebih besar dari rata-rata orang Belanda, pegawai pelabuhan. Para kuli pelabuhan, semuanya orang Indonesia, kagum pada kekuatan otot Du Lopez. Sekali waktu, jika ada barang yang tidak mampu diangkut 4 sampai 5 kuli sekali pun, Lopez solusinya. Barang diangkut di pundak, dan Lopez tetap berjalan tegak, memindahkannya ke gudang. Suatu pagi hujan lebat, sebuah pohon besar dekat pelabuhan tumbang. Batangnya melintang menghalangi jalan. Kepala pelabuhan, orang Belanda, memerintahkan puluhan kuli menggergaji, memotong ranting. Tinggallah sebuah balok besar. Ini sudah di luar kemampuan Lopez. Kepala pelabuhan mengumpulkan puluhan pegawai termasuk Lopez, bersama puluhan kuli. Dia memerintahkan, semua orang mendorong balok ke tepi jalan. Hasilnya ternyata tidak efektif. Semua sudah mendorong, tapi pergeseran balok tidak signifikan. “Stop… “ teriak mister kepala. Semua berhenti. Mister mengatur posisi orang. Lopez dan para kuli ditempatkan di posisi paling berat. Lalu dia berkata: “Kamu orang, tunggu instruksi saya.” Komandonya unik: Menyebut nama lengkap Lopez. “Kamu orang mendorong, saat ike bilang…. Conte du Bare. Apakah jelas?” katanya. Semua menyatakan, siap. Aba-aba pun diteriakkan: “Du Lopez…. Conte du Bare…” Maka, srooooot… balok bergeser. “Du Lopez… Conte du Bare….” Sroooot… Luar biasa. Balok terus bergeser seiring komando. Malah, semua pendorong ikut-ikutan meneriakkan komando: “Du Lopez… Conte du Bare… Dan, balok pun terpinggirkan. Pekerjaan selesai, para kuli istirahat. Mereka ngerumpi soal yel. Memang, yel diteriakkan serempak, tapi bunyinya beda antara orang Belanda dengan kuli. Para kuli kesulitan melafalkan nama lengkap Lopez. Jadinya, mereka asal teriak saja. Saat membahas ini, mereka tertawa terbahak-bahak. Tawa kaum yang terjajah. Gerakan Aktivis Ada Maunya Korupsi di Indonesia sudah menjadi musuh bersama. Terbukti, saat KPK dianggap diserang pihak tertentu, warga beramai-ramai membelanya. Juga, LSM anti-korupsi aktif menyoroti dan menyerang koruptor. Tapi, belum bisa menjadi masalah (yang harus diatasi) bersama. Terbukti, warga yang mengurus sesuatu di kantor pelayanan publik cenderung memilih jalan cepat dengan menyogok petugas. Padahal, birokrasi pelayanan publik sengaja dibuat rumit sebagai peluang korupsi. Masyarakat umumnya tidak mau repot-repot menyelidiki, mengapa proses pelayanan dibuat rumit? Masyarakat baru mengamuk jika benar-benar kepepet. Contohnya, antrian kendaraan yang mengular di Pelabuhan Merak, beberapa waktu lalu membuat sopir truk demo. Ujungnya, kepala pelabuhan diganti. Ternyata persoalannya, dari 5 loket pintu keluar-masuk kendaraan ke kapal, hanya 2 untuk kendaraan besar (truk dan bus). Itu pun loket yang satu atapnya terlalu menjorok, sehingga tidak memungkinan kendaraan besar lewat. Akibatnya keluar masuk truk hanya 1 pintu. Lantas oknum petugas (pura-pura) mengatur arus keluar-masuk truk. Tapi mereka minta upeti Rp 100 ribu per truk. Setelah kepala pelabuhan diganti, semuanya beres. Kepala pelabuhan yang baru, hanya menggergaji atap loket yang menjorok. Jadilah 2 loket untuk truk. Hasilnya: Tak ada macet, tak ada pungli. Masyarakat baru bergerak ramai-ramai memberantas korupsi jika mereka dirugikan secara langsung. Contohnya sopir truk demo tersebut. Jika tak dirugikan langsung, warga tenang-tenang saja. Bersikap: Bodo amat. Meskipun tahu bahwa negara kita paling korup (ranking 117) se dunia versi lembaga survey internasional. Kalau pun ada aktivis anti-korupsi, hanya akibat cemburu terhadap koruptor. Artinya, para aktivis itu bersikap menyerang koruptor, karena mereka belum mendapat kesempatan korupsi. Setelah mereka mendapat tempat yang memiliki power, ternyata mereka korup juga. Ternyata Kuncinya di Lopis Sebenarnya, sikap masyarakat kita seperti itu sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Sejak zaman lahirnya slogan Holopis Kuntul Baris. Paling tidak, akar budayanya dari sana. Guru SD-ku usai bercerita, bertanya ke murid: Mengapa terjadi perubahan ucapan? Dari ‘Du Lopez Conte du Bare’ menjadi ‘Holopis Kuntul Baris’. Kami, murid, menjawab: “Sebab, lidah orang kita sulit menirukan lafal nama itu.” Guruku geleng-geleng, tanda salah. “Memang, lidah kita sulit meniru itu. Tapi, mengapa kata yang diucapkan para kuli semuanya punya arti dalam bahasa kita?” tanyanya. Lopis nama makanan khas Surabaya dari bahan ketan, bentuknya lonjong seperti lontong. Kuntul nama burung. Baris artinya berjajar. Kami pun terdiam, tak bisa jawab. Dikisahkan, sejak peristiwa pohon roboh itu, slogan Holopis Kuntul Baris sangat populer di Surabaya. Setiap warga mengerjakan sesuatu bersama-sama, selalu menggunakan slogan tersebut. Memang begitu kenyataannya. “Tapi, jiwa slogan itu ada di para kuli pelabuhan, sebagai pencetus pertama,” ujar guruku. Dan, saat para kuli ngobrol, usai mendorong pohon, itulah kuncinya. “Mereka saling bertanya, mengapa muncul tiga itu, yang kebetulan mirip dengan nama lengkap Lopez,” kisahnya. Ternyata kata itu diawali beberapa kuli yang sudah lapar. Mereka (saat itu) sudah siang, tapi masih mendorong pohon. Maka, terbayang makanan lopis. Oooh… lopis. Jadilah terdengar: Holopis… Karena bentuk lopis seperti (maaf) kelamin pria, trus diplesetkan jadi Kuntul, nama burung. Dan, “Baris” atau membayangkan deretan lopis dalam jumlah banyak, sedang berbaris. Mendengar kisah itu, kami terpingkal-pingkal. Jiancuk… teriakku (dalam hati). Alhasil, gerakan rakyat bersama-sama ketika mengatasi sesuatu, dalam konsep Holopis Kuntul Baris, berharap sesuatu: Lopis baris. Maka, tidak heran jika kini aktivis anti-korupsi bersuara lantang, sebab mereka belum mendapat kesempatan korupsi. Jadi, gerakan anti-korupsi, tidak masuk akal (kemurniannya) jika dilakukan oleh mereka yang masih miskin. Gerakan itu mungkin murni kalau dilakukan oleh mereka yang berduit. Dari Lonjong ke Segi Tiga Aku ingat cerita guruku itu, sebab usai pelajaran, kami murid lelaki ketawa tak habis-habisnya. Sedangkan murid wanita kelihatan sewot memandangi tingkah kami. Kuledek murid wanita: “Sekarang bentuk lopis sudah segi tiga, bukan lonjong. Apakah gara-gara cerita itu?” Ternyata mereka tambah sewot, seperti hendak mencakarku. (Djono W. Oesman) http://indonesiarayanews.com/news/pena-khusus/12-17-2012-20-14/korupsi-sikat-dengan-holopis-kuntul-baris


EmoticonEmoticon