resensi novel sepatu dahlan



Judul Buku    : Sepatu Dahlan
Penulis Buku    : Khrisna Pabichara
Penerbit    : Noura Books
Cetakan        : Mei 2012
Tebal        : 369 halaman

“Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya.” Begitu tulisan Dahlan di awal lembaran Sepatu Dahlan.

Beberapa kali publik dikejutkan dengan tindakan seorang menteri. Publik memandang bahwa menteri selayaknya bekerja di kantor dan hanya sebagai instruktur (pemberi instruksi). Dalam pandangan itulah muncul seorang menteri yang bekerja turun ke lapangan. Turun ke lapangan untuk bekerja, misalnya, membuka pintu tol. Akibatnya, publik tercengang sehingga media publik pun mengeksplorasi tindakan menteri itu. Menteri tersebut ialah seorang Dahlan Iskan, Menteri BUMN.


Tindakan Dahlan tersebut, yang bertindak turba (meminjam istilah yang dipopulerkan PKI, yang merupakan akronim dari Turun ke Bawah), bisa dikatakan sebagai suatu sikap kesahajaan. Tidak membedakan kedudukannya sebagai seorang menteri dengan bawahannya sendiri –tapi ini hanya pada titik ini saja, kecuali hal ini saya tidak dapat pastikan-.

    ***
Awal kisah pembaca akan menghadapi sebuah “Prolog”. Prolog yang menghimpun seluruh kisah, dan akhir kisah pun ditutup dengan sebuah epilog. “Prolog–epilog” di dalam Sepatu Dahlan ini menandakan bahwa ada kisah di dalam kisah.

Dalam “epilog” dikisahkan bahwa seorang lelaki sedang mengalami sakit, liver. Sebuah penyakit yang membawanya ke dalam proses pencangkokan. Pada hari pencangkokan itulah, tokoh utamanya, Dahlan, –tentunya yang dimaksudkan ialah Dahlan Iskan- merasa sesuatu romantisme kehidupan akibat pesakitan yang mengidap di tubuhnya. Sekarang, hari ini, di kamar operasi, segera kumasuki gerbang kelahiran baru, jauh dari tanah kelahiran pertama, Kebon Dalem. (dalam “Epilog” Sepatu Dahlan)

Dahlan ialah tokoh utama. Tokoh utama di sini adalah tokoh yang jadi sorotan, dan sangat berpengaruh terhadap keutuhan kisah. Meskipun keutuhan itu tidak akan ditemui sebagai keutuhan yang kuat dalam elemen per elemen ceritanya. Selain Dahlan, tokoh kisahnya ialah istri, anak sulung, dan Robert Lai –sahabat Dahlan-.

Pun ada tokoh bayang-bayang, yakni orangtua Dahlan (Ayah-Ibu), Zain –Adik Dahlan- dan teman-teman selingkungan. Bayang-bayang, karena ceritanya bukanlah satu pengisahan yang sebenarnya, melainkan hanya dalam masa kenangan. Ibaratnya, bila kita bercermin mungkin kita akan teringat atau terkenang seseorang. Proses pencerminan itulah titik utamanya, sedang kenangan/ingatan hanyalah bayang-bayang.

Pengisahan di dalam buku ini terbagi menjadi 34 Bab. Diawali “Prolog”, lanjut “Tebu”, “Muslihat Gagal”, “Masa orientasi”, “Batik Tegal Arum”, “Berhenti Merawat Luka”, “Riwayat Sumur Tua”, “Senyum Ibu”, “Lolos Tanpa Mantra”, “Gitar Kadir”, “Miskin Harta Kaya Iman”, “Sepeda Muryati”, “Suara-Suara Tak Terkatakan”, “Teguran Juragan Buah”, “Pemberontakan Para Domba”, “Ojo Kepingin Sugih”, “Kelapa Gading”, “Luka di Mata Zain”, “Logika Berdoa untuk Aisha”, “Kupatan”, “Jangan Terlalu Bahagia”, “Smash!”, “Si Kumbang dan Pesta Opor”, “Patriot Sejati”, “Misteri Purwodadi”, “Kesaksian Kadir”, “Perseteruan Murid Zen”, “Geletar Asing di Jalan Takeran”, “Akhirnya Punya Sepatu”, “Di Bawah Rindang Trembesi”, “Surat Penting”, “Stasiun Madiun”, dan “Epilog”.

Pada intinya, kisah utamanya ialah kisah dalam “prolog” dan “epilog”. Sementara itu, bab-bab lainnya hanyalah pendukung kedua kisah tadi. Sama halnya seperti ibarat becermin, bahwa proses bercerminlah proses yang sesungguhnya, sedangkan proses terkenang hanyalah pendukung semata.

Seluruh bab diramu dengan kepedihan yang sangat mendalam –saya katakan mendalam sebab unsur kesedihannya muncul dari awal hingga akhir kisah- akan kita (pembaca) hadapi sebagai daya tarik empati pembaca. Kepedihan berawal sejak operasi liver hingga usai operasi liver tersebut. Bahkan, variasi kepedihannya, yang muncul di antara “prolog” dan “epilog”, yaitu keinginan sekolah, keinginan memiliki sepatu, permasalahan sepeda, olok-olokan yang diterima Dahlan, meninggalnya ibu, kepergian sang kakak, hingga keinginan kuliah di dalam kondisi ekonomi yang tidak mencukupi.

Tokoh utama, dengan latar sosial dan latar ekonominya, dibentuk seperti karakter “superhero”. Variasi kepedihan tadi menjadi ujian “sang superhero”. Persoalan-persoalan dilematisnya pun merupakan cara menolong orang lain, yang tak lain utamanya ialah keluarganya sendiri. Senjata ampuhnya ialah kesahajaan. Superhero itu selalu melawan musuh dengan senjata, tetapi tokoh di dalam kisah ini tidak dengan senjata seperti senjata umumnya yang kita pahami, melainkan hanya kesahajaan. Berkali-kali kesahajaan itu muncul, sebab masalah-masalah ekonomilah yang akan kita hadapi. Kemiskinan adalah kesenangan, begitulah petikan narasi yang tertera di halaman 360. Itulah karakter Dahlan dalam kisah sebagai “senjata”.

***

Novel yang ditulis dari tangan penulis prosa yang sudah arang-melintang di dunia prosa, Khrisna Pabicara, akan menjadi media pembaca dalam memahami, baik itu sedikit maupun banyak, unsur di dalam novel. Pemahaman dalam membandingkan ke kehidupan nyata seorang Dahlan terhadap tokoh Sepatu Dahlan –meskipun secara teknik pembentukan tokoh dalam novel masih jauh api dari panggang, sebab sangatlah mustahil bagi nalar dan bagi realitas sosial Inodonesia seorang anak sekolah sudah mampu membuat keputusan-keputusan yang apik dalam masalah-masalah dilematis dan masalah-masalah ekonomi-
Paling tidak, kita sebagai pembaca akan pahami bagaimana cara berbuat dan menanamkan kesahajaan dari pembacaan Sepatu Dahlan, tanpa mengetahui dan tanpa serta-merta menghubungkannya dengan kehidupan mantan pemimpin Jawa Pos itu.

“Orang-orang sungguh percaya pada novel, sekalipun novel-novel itu tidak berpretensi menjadi sungguhan” (G. K. Chesterton)
http://suar.okezone.com/read/2012/06/06/285/642325/kesahajaan-dalam-sepatu-dahlan


EmoticonEmoticon