Dahlan Iskan Main Catur
Catatan Pak Djono W Oesman
PENGALAMAN SAYA DIMARAHI DAHLAN (2 - TAMAT)
Marah-tidaknya Dahlan kadang tampak jelas, kadang terselubung. Seperti
halnya mobilitas dia yang sulit diprediksi. Pada seri terakhir ini
menyajikan aneka estimasi penulis terhadap perilaku Dahlan. Silakan
dilanjut….
------------------------
Saat masih Pemred Jawa
Pos, Dahlan biasa ngobrol dengan semua bawahan. Kadang, dia ngobrol
sambil main catur dg Layouter. Di hari lain dg karyawan percetakan. Dia
batasi, satu-dua game saja, di akhir pekan. Usai main, kerja lagi.
Ketika dia main lawan Redaktur atau Wartawan, saya melihat, sebab di
lingkungan kerja saya. Sambil main, dia biasa tanya-tanya soal keluarga,
jumlah anak, sekolah dimana, gajinya cukup atau gak?
Tapi
caturnya kelihatan serius. Saya yg saat remaja sering juara catur di
perayaan 17 Agustus tingkat RW, tahu Dahlan main serius. Sesekali saya
nengok. Tak berani berlama-lama, khawatir dijadikan lawan. Bukan apa-2,
saya perokok dia tidak. Catur tanpa merokok, saya kan tersiksa.
Gara-gara Bos main catur, jadilah kantor Redaksi JP Jakarta, Jl
Prapanca Raya demam catur. Saya terseret main juga dengan teman
wartawan, Sukardi. Kami pilih di tempat terbuka, duduk di lantai teras
biar bisa merokok. Andai Dahlan datang, rokok cepat dibuang. Toh dia
kebanyakan di Surabaya, sekali waktu saja ke Jakarta.
Eeee…
saat saya main dia muncul. Kebetulan, saya sedang merokok. Ketika jarak
dia dg saya masih sekitar 10 meter, rokok saya lempar ke taman.
Terlambat. Dia keburu lihat. Ya sudah, saya pasrah. Dua kesalahan:
Merokok di kantor dan mencemari taman.
Dia mendekat, suaranya pelan: “Dwo, jangan merokok disini. Ambil puntungnya, buang ke sampah,” katanya.
Saya mengorek semak, Sukardi mengikuti seperti hendak membantu mencari.
Sukardi berbisik: “Kok die ama elu gak marah, sih? Kalo ama yg laen,
die marah berat, lho.” Saya jawab: “Kite kan senior, Kar. Maksud die
negur, kite jangan jadi contoh jelek bagi yunior.”
Puntung
ketemu, saya buang ke tong sampah. Papan catur hendak saya kemasi, tapi
cepat dicegah Dahlan. “Biar saja, lanjutkan,” ujarnya.
Wah…
dengan malu-malu saya dan Kardi melanjutkan catur, sementara Bos
menonton. Dahlan pasti sudah menghitung, kini jelang senja, saatnya
semua wartawan merapat ke kantor setelah dapat berita dari lapangan.
Biasanya setelah istirahat sejenak, kami mengetik berita sampai malam.
Jelasnya kini waktu break.
PILIH TIDAK SOPAN, ATAU MELECEHKAN ?
Saya kira Dahlan cuma iseng nonton. Ternyata sampai sekitar 15 menit
dia tetap jongkok mengamati bidak catur. Malah sampai permainan
berakhir.
“Dwo jago juga. Ayo lawan saya,” ujar Dahlan. Dia langsung duduk bersila, menggantikan tempat Kardi.
Ampuuun… saya selalu menghindari lawan dia, kini jadi terdesak.
Soalnya, dari pengamatan saya selama dia main, level dia di bawah saya.
Trus, saya harus bagaimana? Main normal yg berarti mengalahkan Pemred?
Atau pura-pura main jelek supaya kalah? Keduanya berisiko, lho.
Mengalahkan Pemred tidak enak. Bukan khawatir terkait kondite saya.
Tapi, terbayang melihat wajah Pemred memerah karena kalah. Tidak sopan
(Jawa: tak tahu unggah-ungguh). Sebaliknya, pura-pura main jelek, andai
ketahuan bisa fatal. Bisa dianggap meremehkan, ngledek, melecehkan.
Pilih mana: Tidak sopan atau melecehkan?
“Saya putih, Dwo,” ujar Dahlan sambil menata bidak. “Siap, Pak,” jawab saya, ikut menata.
Dengan pilihan putih, menandakan dia berharap unggul. Sebab, putih
melangkah duluan. Bisa juga disimpulkan, dia berharap menang. Berarti
saya harus mengalah, pura-pura main jelek.
Dahlan memulai
langkah pembukaan: Gambit. Ini jenis pembukaan konvensional. Saya pernah
baca, pemain dunia Garry Kasparov jika pegang hitam dan musuhnya
membuka Gambit, mayoritas musuh tumbang sebelum langkah ke-40. Saya
sering mempelajari varian pembukaan ini.
Langit Jakarta masih
terang, senja belum tiba. Angin taman semilir lembut. Satu-dua Mawar
mulai merekah, sebagian lainnya masih kuncup. Dua kupu kupu bertengkar
di udara, mungkin berebut strategi menghisap Mawar. Ah… siapa bilang
mereka bertempur? Siapa tahu memadu kasih? Harus diteliti kelaminnya
dulu…
Pertempuran di papan catur mulai seru. Saya berubah
pikiran, dari rencana ‘pura-pura main jelek’ jadi main normal. Sebab,
melihat perkembangan permainan, level Bos ternyata tak serendah yg saya
duga semula. Dia cukup tangguh dan jeli.
Andai saya mengalah,
kemungkinan besar dia akan tahu. Sebab dg kejeliannya dan dia sudah
melihat kualitas permainan saya dg Kardi tadi, dia pasti sudah mengukur
lawan. Jika saya mengalah dan dia tahu, sama saja ngeledek.
“Awas… Perdana Menteri, saya ancam, ya…” ujar Dahlan. “Siap, Bos.”
Dia begitu fair. Ancaman terhadap Perdana Menteri sebenarnya boleh
tidak diberitahukan. Hanya ancaman ke Raja yang wajib warning. Masak
terhadap musuh begini saya pura-pura mengalah? Pasti dia akan tahu.
Ngeri-lah.
Melalui pertempuran sengit, posisi Raja putih
terdesak. Bos berpikir keras, mencari cara menghindari serangan.
Terpaksa dia berkorban ini-itu. Sehingga serangan hitam semakin leluasa.
Akhirnya putih kalah.
“Bagus… bagus. Masih ada waktu, kita main sekali lagi, ya,” katanya sambil melihat jam.
Bidak ditata lagi, kami main lagi. Kini saya disuruh pegang putih. Gantian.
Aduh… kian berat, nih. Kalau saya main normal lagi dan dia kalah lagi,
bagaimana? Sedangkan ajakan dia mengulang permainan, menandakan dia
berambisi menang. Sebaliknya, jika saya pura-pura mengalah dan dia tahu,
bagaimana? Aduh biyung…
Saya jadi menyesal main catur dg Kardi tadi. Andai tak main, aku tak terjebak di situasi ini.
Aneh, Dahlan pegang hitam serangannya malah gencar. Padahal, sesuai
kodrati catur, hitam mestinya posisi bertahan di awal. Tapi, justru sip.
Disinilah peluang saya untuk mengalah. Karena bakal tidak mudah
diketahui, bahwa saya mengalah. Ya, ini kesempatan.
Dalam tempo singkat saya kalah. Permainan bubar. Tapi, apa yg kemudian terjadi?
“Kamu sombong, pura pura mengalah,” kata Dahlan. Wajahnya masam. Cepat
saya jawab: “Tidak pak. Serangan Pak Bos begitu gencar. Saya kewalahan.”
Tapi, Dahlan tidak gampang dibohongi. Raut wajahnya menunjukkan bahwa
dia tidak suka diperlakukan begitu. Saya sudah hafal. Seperti saya duga,
dengan saya mengalah bisa saja dianggapnya ngeledek. Weleh… weleh…
weleh… ngapain tadi main catur.
Untungnya, “Kalau main lagi setelah deadline, main yg bener,” ujarnya.
Hati saya plong… lega. Saya kira akan dimarahi. Dugaan saya salah. Pak
Dahlan tahu bahwa saya tadi mengalah, tapi dia tidak menganggap saya
meremehkan dia. Setelah deadline koran (usai jam kerja) mungkin main
lagi.
ADUH… SAYA KETIPU
Kini saatnya saya mengetik
berita. Pak Dahlan juga mengetik. Biasanya kalau dia ke Jakarta, ada
urusan penting sekaligus menengok kinerja bawahannya. Dari urusan itu
sering dia menulis sesuatu. Dia Pemred yg rajin menulis.
Bos
main catur menandakan dia sedang happy. Jidak tidak, jangankan main
catur, disapa pun muram. Kalau sudah begitu, semua anak buahnya
kabur-kaburan. Kerja dipercepat agar cepat pulang. Khawatir kena dampak
kejengkelan Dahlan.
Tibalah saat main catur lagi.
Tapi, olalaaaa… mati aku. Belum sampai 15 langkah saya sudah terdesak.
Padahal, saya tidak blunder, juga tidak terpancing. Beberapa kali saya
melakukan rekonstruksi, mempelajari langkah-langkah sebelumnya. Benar-2
bersih tanpa blunder. Tapi serangan dia begitu mematikan.
Kini
saya tahu, inilah kualitas permainan dia yg sebenarnya. Berarti tadi dia
hanya main-main. Bila tadi saya pura-pura kalah, kini kalah beneran.
Jika saya pernah juara tingkat RW, mungkin saja dia tingkat kecamatan.
Level dia sejatinya di atas saya. Salah prediksi.
Hasil
pertarungan sengit dan singkat, saya terdesak abis. Akhirnya tak ada
lagi peluang untuk bertahan. Raja hitam terpaksa saya gulingkan, tanda
saya menyerah. Alamaaak… saya ketipu.
Pak Dahlan tersenyum, saya salami. “Tuh… pak, saya memang kalah,” kata saya, kecut. Dia tertawa. Lalu saya mohon izin, pulang.
Dari situ saya memetik pelajaran: Jangan buru-buru menyimpulkan
kualitas lawan. Bahkan setelah pertarungan dua set pun, saya masih salah
menyimpulkan kualitas lawan. Sebab, ada tipe orang yg suka
menyembunyikan kekuatannya. Semoga bermanfaat. (Jkt, 27 Nov 2012)
EmoticonEmoticon