Sebuah Awal Dari Kesulitan Besar
Author: RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI @Rhenald_Kasali
Kalau Prof Jagdish Sheth menulis buku dengan judul Self Destructive
Habits, tangan ini gatal menulis “Sebuah Awal dari Kesulitan Besar”.
Awal itu soal pencarian bangsa ini terhadap energi.
Ketika semua bangsa-bangsa sibuk mencari dan mengembangkan energi-energi baru, kita justru terperangkap dengan politik
populis yang seakan-akan masih kaya minyak. Sudah tahu cadangan minyak
dunia semakin menyusut, tetapi andalannya masih tetap saja minyak. Sudah
tahu kilangnya tidak besar, tetap saja berfoya-foya minyak. Gampang,
tidak perlu minyak mentah, beli saja yang lebih mahal: minyak yang sudah
jadi. Bagaimana energi alternatif?
Pola Pikir Minyak
Pola pikir kita adalah negeri kaya minyak. Minyak itu seakan- akan
tersedia gratis seperti air cebok. Harganya sepertiga dari harga
sebungkus rokok meski untuk mendapatkannya butuh teknologi, pengetahuan
tingkat tinggi, proses yang panjang, dan merusak lingkungan pula. Di
negeri kepulauan yang miskin infrastruktur ini kita bahkan butuh biaya
angkut yang mahal untuk mengirimnya dari satu tempat ke tempat lainnya.
Dengan paradigma itu rusaklah semuanya ketika realitasnya sudah
berubah. Sumur-sumur minyak yang ada semakin hari semakin menyusut,
produksinya turun. Bisa saja sumursumur itu disedot lagi, tetapi
diperlukan investasi baru yang sangat besar. Investasi baru itu ternyata
tidak dilakukan. Dividen dari keuntungan usaha minyak diambil untuk
menambah pemasukan APBN, bukan buat reinvestasi untuk kemakmuran pada
masa depan. Akibatnya kita tak punya uang.
Alternatifnya, cari
teman, cari investor. Tetapi, mental kita mengatakan kita tidak ingin
dikuasai asing karena perusahaan asing sudah terlalu banyak. Asing
dikesankan menguasai karena asing mengambil terlalu banyak dalam bentuk
cost recoverydan sebagainya. Tetapi, sekali lagi, yang punya modal dan
teknologi ya siapa lagi kalau bukan asing? Bukan melatih diri agar lebih
cerdik, melainkan kita selalu hanya ribut.
Sementara itu
mencari sendiri sumur-sumur baru selain berisiko gagal, biaya
investasinya sangat besar. Kata para ahli minyak, ada sih minyak itu.
Tetapi, terpendam di laut dalam atau terperangkap di dalam bebatuan
(shale oil and gas). Namun, untuk menangkapnya lagi-lagi butuh
teknologi: Ya, tanpa pengembangan teknologi, tidak bisa kita dapatkan
minyak itu. Lalu ada gagasan mencari minyak di negeri lain.
Tetapi, lagi-lagi, dukungan negara minim. Padahal negeri-negeri pemilik
ladang-ladang minyak terus didatangi taipan-taipan minyak dari Malaysia,
China, India, Thailand, Rusia, Amerika, Korea, dan Jepang. Mereka
berebut memberi “pemanis” agar saling menguntungkan. Yang satu
membangunkan kilang sehingga mendapatkan jaminan supplyminyak mentah.
Yang lain memberikan harga pasar yang menggiurkan.
Demi
mendapatkan keberlangsunganenergi sambil mendidik warga negara agar tahu
bahwa barang ini sudah berubah menjadi barang mewah. Karena kita tidak
melakukannya, pilihannya hanya impor. Dari minyak mentah lalu minyak
jadi dan semakin hari semakin besar. Ketika harganya di dunia
internasional semakin mahal, kita pun menutup mata. Harganya di dalam
negeri harus tetap murah.
Tak peduli sekalipun akan digunakan
untuk mabukmabukan, trek-trekan, untuk pacaran, pesta, dan sebagainya.
Rakyat kita sama sekali tidak dididik memahami bahwa minyak telah
berubah menjadi barang mewah. Bahkan tak banyak yang diberi tahu bahwa
Indonesia sudah lima tahun ini keluar dari keanggotaannya di OPEC
(2008). Kita bukan lagi anggota dari negara-negara kaya pengekspor
minyak, melainkan perilaku kita masih bak raja minyak. Menjadi
penjelajah energi.
Tanpa energi kita tak bisa menyimpan vaksin,
tak bisa mendidik anak-anak, apalagi merawat kesehatan. Pikiran kita
adalah pikiran lama yang usang, yang seakanakan Indonesia kaya minyak.
Atau kalaupun tidak, pikiran kita mengatakan dunia ini masih kaya
minyak. “Tidak akan pernah habis.” Produsen automotif pun masih terus
menjual kendaraan-kendaraan baru berbasiskan fossil fuel karena itulah
energi yang paling efisien dan mudah dibawa. Kita pun terlena.
Energi Alternatif
Apakah alternatif yang sedang kita cari? Tenaga surya? Ternyata
Indonesia bukan wilayah yang bagus buat energi tenaga surya karena
matahari yang bersinar 12 jam di sini tidaklah tajam cahayanya. Kita
mendapatkan “light”, tetapi tidak “heat”-nya. Tenaga angin? Ternyata
juga tidak cocok. Angin di negeri ini ternyata tak sekencang angin di
negeri Belanda atau Swiss walaupun penduduknya sering dilanda “masuk
angin” misalnya.
Adapun panas bumi sesungguhnya sangat menarik.
Indonesia adalah negeri yang dikelilingi cincin-cincin api. Sayangnya,
panas bumi itu melewati kawasan-kawasan hutan lindung yang belum tentu
ramah bagi lingkungan. Di sini perkembangan agak tersendat. Lalu
pilihannya ada pada biodiesel seperti minyak sawit, minyak kemiri sunan,
dan sejenisnya. Tetapi, selama harga minyak yang utama (BBM) murah,
sulit energi alternatif ini hidup dan berkembang. Sama sekali tak ada
insentif untuk berubah.
Kita bisa teruskan perdebatan ini
dengan energi-energi alternatif lainnya seperti batu bara, gas, nuklir,
dan seterusnya. Semuanya kita tentang, kita tertahan, terbelenggu, sulit
bisa mewujudkannya. Padahal di seluruh dunia bangsa-bangsa besar,
termasuk negeri-negeri tetangga yang hanya sebesar Malaysia dan Thailand
sekalipun, sibuk membangun pertahanan energi.
Diam-diam mereka
membuat rakyatnya tidak mabuk minyak. Harga yang mahal bukan untuk
menindas si miskin, melainkan untuk mendidik kesadaran sebelum bencana
besar itu tiba yaitu saat minyak sudah tak terbeli lagi sementara
teknologi rumah tangga dan transportasi yang dipakai masih fossil
fuelbased. Diam-diam mereka melakukan riset secara mendalam demi
mendapatkan energi-energi baru yang lebih terjamin pasokannya.
Diam-diammerekamemberi insentif agar perusahaanperusahaannya
rajinmenjelajahi dunia dan menabung energi untuk masa depan.
Diam-diam mereka mengikat dengan kerja sama yang saling menguntungkan.
Diam-diam mereka menyusun kekuatan-kekuatan baru. Sayangnya, di sini
kita justru bertengkar. Kita hidup dalam alam pikiran yang tidak sama.
Dalam egoisme ideologis partai yang semu. Dalam kepentingan- kepentingan
pribadi dan kelompok yang bodoh. Dalam arahan yang sama sekali tak
ilmiah dan tidak logis.
Dalam permainan yang memanipulasi
pikiran-pikiran rakyat. Dalam angan-angan bahwa kita punya
segala-galanya. Kita dibiarkan mabuk. Bagi saya, ini semua awal bagi
kesulitan yang lebih besar. Ayo putus mata rantainya. Bukalah
pikiran-pikiran yang lebih sehat untuk berubah. ●