Dakwah
bil Hal:
Korporatisasi
Usaha Individu Umat
Menuju
Indonesia Modern
Oleh
Dahlan
Iskan
Orasi
Ilmiah Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa Bidang Ilmu Komunikasi dan Dakwah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo, Semarang,
Semarang,
8 Juli 2013
Mukadimah
Istilah “dakwah bil hal” yang
sudah begitu popular ternyata merupakan istilah yang hanya digunakan di
Indonesia yang kemudian merembet ke Malaysia. Sebagaimana istilah “halal bil
halal”, istilah “dakwah bil hal” bukan istilah yang dikenal di dunia Islam di
Timur Tengah.
Bahkan istilah “dakwah bil hal”
ternyata baru mulai popular sejak tahun 1970-an. Berbagai sumber ulama dan
intelektual Islam Indonesia membenarkan itu. Namun tidak ada yang tahu siapa
yang memulai menggunakannya. Prof. Dr. KH Quraisy Shihab, ahli tafsir Al Qur’an
yang semula dikira sebagai ulama pertama yang menggunakan istilah “dakwah
bil hal”, mengirim jawaban dari luar negeri sebagai berikut: bukan saya
yang pertama mempopulerkan istilah itu. Rasanya MUI (Majelis Ulama Indonesia)
yang mempopulerkannya.
Prof. Dr. Amin Aziz yang zaman itu
menjadi tokoh muda intelektual Islam yang mulai ikut berkecimpung di MUI juga
tidak ingat persis siapa orang pertama yang melahirkan istilah “dakwah bil
hal”. Yang jelas, Ketua Umum MUI saat itu dijabat oleh Prof. Dr. KH Hasan
Basri, semoga Allah SWT memberikan sorga terbaik untuk Almarhum.
Tapi dari hasil penelusuran saya,
patut diduga istilah “dakwah bil hal” itu terucapkan pertama kali oleh
intelektual muda yang juga mulai aktif di MUI zaman itu. Namanya Dr. Effendy
Zarkasi. Setidaknya itulah yang diduga oleh tokoh yang juga sangat aktif dan
juga terlibat dalam kegiatan pemberdayaan umat Adi Sasono.
Awal tahun 1970-an adalah masa di
mana gejolak politik di Indonesia luar biasa mencekamnya. Ini buntut dari
peristiwa G-30-S di tahun 1965 yang menghadapkan golongan Islam dengan golongan
komunis. Pada masa itu banyak pemikiran yang muncul untuk menyikapi akan
dikemanakan masa komunis yang begitu besar yang pada umumnya adalah rakyat
miskin biasa.
Di lain pihak, pada awal orde baru,
terutama menjelang Pemilu model Orba yang ditandai dengan keharusan
dimenangkannya Golkar, gerak para pendakwah dipersempit. Singa-singa podium
mengalami hambatan untuk berorasi.
Maka salah satu sikap moderat untuk
keluar dari jepitan dua situasi itu, dicarilah istilah yang enak terdengar
untuk kalangan penguasa, sekaligus konkret hasilnya bagi rakyat jelata. Dengan dakwah
bil hal diharapkan bisa menjawab pertanyaan mengapa begitu besar rakyat
kita yang miskin yang akhirnya memilih partai komunis daripada menjadi
pemeluk Islam yang baik. Tentu kenyataan itu dianggap sebagai bukti kegagalan
misi dakwah Islam.
Sudah tentu, tercapai juga tujuan
lain yang lebih taktis. Dengan lebih banyak mewacanakan dakwah bil hal,
konotasi kata “dakwah” yang waktu itu terdengar identik dengan suara anti
penguasa Orde Baru bisa lebih lunak diterima oleh telinga penguasa.
Maka sudah pada tempatnya bila MUI
mencari jalan yang lebih taktis. Sebagai lembaga yang “terjepit” di
tengah-tengah antara ulama Islam dan penguasa, tidak ayal bila MUI harus
mencari “jalan lain” yang lebih bisa diterima semua pihak. Seislam-islamnya
MUI, waktu itu, adalah Islam yang bisa diterima penguasa. Sebaliknya, sedekat-dekat
dengan penguasa MUI masih merupakan representasi ulama Islam.
Posisi MUI di awal-awal Orde Baru
memang memiliki tempat yang khusus di mata penguasa, karena, antara lain, untuk
menjadi Ketua MUI memang harus mendapat restu penguasa. Bahkan tidak jarang MUI
dituduh sebagai “alat penguasa”.
Dalam hal ini bisa jadi istilah “dakwah
bil hal” lahir sebagai penerapan satu prinsip ushul al fiqh ini: Maa
laa yudraku kulluh laa yutraku kulluh, sesuatu yang tidak bisa dipakai
semua jangan ditinggalkan semua.
Dalam suasana apa pun dan dalam
kondisi apa pun dakwah harus tetap jalan. Tidak bisa bil lisan, bisa bil
kalam. Tidak bisa bil kalam, nah ini dia: bil hal.
Dalam situasi di bawah penguasa Orde
Baru yang tidak menginginkan Islam politik hidup kembali, maka istilah “dakwah
bil hal” dianggap tidak berkait dengan politik dan tidak berhubungan dengan
Pemilu. Maka MUI sangat sering membahas topik-topik dakwah yang tidak sensitif
di telinga penguasa.
Dalam Muyawarah Nasional tahun 1985
dan Raker tahun 1987, nas Majelis Ulama Indonesia telah mengambil keputusan
tentang program dakwah bi al-hal. Salah satu rumusannya disebutkan bahwa
tujuan dakwah bi al-hal antara lain untuk meningkatkan harkat dan
martabat umat, terutama kaum dhu’afa atau kaum berpenghasilan rendah
Rumusan itu adalah jawaban dari
topik yang menarik dan selalu dibicarakan waktu itu: mengapa dakwah sering
menemui kegagalan. Dan salah satu jawaban yang muncul saat itu adalah ini:
karena dakwah Islam lebih banyak hanya dilakukan secara pidato-pidato, ceramah-ceramah,
pengajian-pengajian. Dakwah bil lisan. Kesimpulannya: perlu
dicarikan terobosan baru agar dakwah tidak hanya mengandalkan “bil
lisan”. Lantas lahirlah istilah yang merupakan antitesisnya: bil hal.
Dakwah bil hal. Dakwah dengan perbuatan dan hasil nyata.
Dakwah dalam Konteks Kekinian
Dalam literasi yang banyak
berkembang di dunia Islam, istilah dakwah bil lisan dan dakwah bil hal
tidak banyak dikenal. Menurut Kyai muda lulusan Yaman dari Pondok Pesantren Al
Azziziyah Denanyar Jombang, KH Abdul Muiz Aziz, di dunia Arab dan dunia Islam
pada umumnya, dakwah bil lisan dikenal dengan ungkapan “bil maqal”
dilaksanakan dalam bentuk harakah-harakah. Kebanyakan dari gerakan ini
sebenarnya tidak bisa disebut murni dakwah karena tujuan akhirnya adalah untuk
merebut kekuasaan.
Dalam tradisi Arab pun, dakwah
bil maqal atau dakwah bil lisan dianggap kurang efektif dibanding
dakwah dengan perbuatan yang diistilahkan bi lisan al hal. Ungkapan yang
popular di dunia Arab, lisaanul hal afshahu min lisanil maqal. Berkata
dengan perbuatan jauh lebih efektif dibanding berkata dengan ucapan.
Di Indonesia, gerakan dakwah bil
hal bukanlah hal baru. Ketika mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912,
motivasi yang menjadi landasan KH Ahmad Dahlan adalah mengaplikasikan perintah
surat Al Maa’un untuk memberdayakan fakir miskin, yatim piatu, dan kaum dhuafa
pada umumnya. Salah satu wujudnya, Muhammadiyah ketika itu mendirikan Bagian
Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Lembaga ini kemudian berkembang seiring
tuntutan zaman, dengan memperluas cakupan kegiatan di bidang pendidikan,
ekonomi, dan kesehatan.
Ketika KH Hasyim Asy’ari dan
sejumlah ulama mendirikan Nadhlatul Ulama pada 1926, empat sendi pokok yang
menjadi pilar jam’iyah adalah (1) pendidikan, keilmuan, sosial-budaya, (2)
ekonomi kerakyatan, dan (3) kebangsaan.Untuk merealisasikan pilar-pilar
tersebut ke dalam kehidupan bangsa Indonesia, dibentuklah lembaga dan lajnah,
di antaranya Lembaga Pendidikan Ma’arif, Lembaga Sosial Mabarrot, dan Lembaga
Pengembangan Pertanian.
Kepedulian serupa juga ada di
organisasi Islam lainnya seperti Al Irsyad, Persis, Nahdlatul Wathan di NTB,
dan sebagainya. Buku Fiqhud Da’wah karya tokoh besar Dr Moh Natsir
(Almarhum) juga menguraikan soal ini (Hamdan Daulay, 2011). Komunitas seperti
Qaryah Thayyibah di Salatiga, Tangan Di Atas di Jakarta, dan Sedekah Rombongan
di Yogyakarta, hakikatnya juga merupakan implementasi dakwah bil hal.
Di dunia Islam kontemporer, salah
satu contoh dakwah bil hal yang dianggap paling berhasil berkembang di
Turki. Di sana gerakan sejenis ini disebut Hizmet yang artinya adalah
pelayanan. Tokoh sentralnya adalah ulama tarekat yang meneruskan gerakan
tarekat Sayid Nursi bernama Fethullah Gulen. Karena itu Hizmet di Turki
juga disebut Gulen Movement.
Gerakan ini menggaungkan Islam damai
tidak saja di Turki, tetapi juga di dunia internasional. Gerakan ini
telah mendirikan lebih dari 1.000 sekolah di lebih dari 100 negara di dunia;
enam buah rumah sakit umum; beberapa media cetak dan elektronik; sebuah
universitas; organisasi bantuan sosial internasional; organisasi dialog antar
agama internasional; dan gerakan ini sudah memiliki cabang di berbagai negara
di dunia, empat cabang di antaranya di Amerika.
Gerakan ini mendapat dukungan tidak
hanya dari kalangan elit, melainkan dari umat di masyarakat bawah. Layanan
social Gerakan Gulen menjangkau masyarakat kelas bawah secara luas, tanpa
memandang latar belakang agama dan ras, merepresentasikan gagasan dan cita-cita
Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Yang menggembirakan adalah tidak
terjadi dikotomi antara dakwah bil lisan dan dakwah bil hal.
Tidak ada yang menentang kehadiran gerakan dakwah bil hal, karena dakwah
bil hal tidak menafikan pentingnya dakwah bil lisan. Boleh dikata
keduanya saling melengkapi.
Semua intelektual mengakui bahwa
untuk zaman ini dakwah bil lisan saja tidak cukup. Tidak memadai. Dalam
kata-kata Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, dalam penjelasannya melalui SMS kepada saya: dakwah
bil hal menunjukkan bahwa Islam adalah agama amal, agama kerja, bukan
sekadar agama kontemplasi dan pertapa.
Dari kalangan pondok pesantren juga
sama. “Untuk zaman sekarang dakwah dengan sunnah fi’liyah lebih baik
dari sunnah qauliyah,” tulis KH Abdul Muiz Aziz dari Denanyar.
Dakwah Tekstual dan Kontekstual
Ketika tantangan untuk meningkatkan
mutu pendidikan meningkat lebih tinggi lagi, muncul gerakan baru dari
individu-individu Muslim non lembaga keagamaan. Mereka mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan tanpa mengikatkan diri pada lembaga keagamaan yang sudah ada. Mereka
lebih mengutamakan mutu daripada formalitas dan fanatisme keorganisasian.
Muncullah sekolah-sekolah bermutu internasional dari individu-individu muslim.
Tanpa membawa bendera organisasi agama, yang mereka anggap akan menambah
birokrasi yang bisa menghambat usaha menjaga mutu yang harus selalu dinamis.
Mengapa dakwah bil hal pada
masa kini lebih banyak bergerak di bidang pendidikan tentu sesuai dengan
tantangan yang dominan di kalangan ummat Islam saat itu: kebodohan, kejumudan
dan ketertinggalan dalam dunia pemikiran. Di samping, sudah tentu, pendidikan
sendiri adalah aktivitas yang tidak dipisahkan dari doktrin keagamaan
dalam Islam.
Berkembangannya dakwah bil hal
di bidang pendidikan sekaligus juga menandai terjadinya transformasi peradaban.
Dari peradaban lisan ke peradaban tulis. Perkembangan peradaban itu membawa
konsekwensi pada kehidupan umat. Peradaban lisan di Indonesia bisa
diidentikkan dengan peradaban pertanian. Peradaban tulis identik dengan zaman
industri.
Belakangan muncul peradaban yang
lebih baru lagi: video dan audio. Yang melambangkan peradaban informasi.
Perubahan peradaban itu tidak hanya mengakibatkan berubahnya perilaku sosial
umat, tapi lebih-lebih juga perilaku ekonomi. Kemajuan perekonomian pertanian
terbukti dikalahkan oleh ekonomi industri. Dan ekonomi industri dikalahkan oleh
ekonomi informasi. Teknologi informasi berkembang luar biasa pesat, dan menjadi
tulang punggung perekonomian modern.
Jika umat masih terus tertinggal di
peradaban lisan dengan ciri ekonomi pertanian, maka ia aakan menjadi umat yang
paling tertinggal. Kemajuan-kemajuan ekonomi yang digerakkan oleh peradaban
industri dan informasi telah membawa perubahan besar, namun porsi manfaat yang
lebih besar diambil oleh masyarakat industri dan masyarakat informasi.
Dari pengalaman selama ini, saya
membagi dua tingkatan dakwah:
- Dakwah Tekstual. Dakwah yang diberikan begitu saja oleh pendakwah. Tanpa tahu apakah materi itu yang sebenarnya dibutuhkan oleh sasaran dakwahnya. Tanpa tahu bahwa sasaran dakwahnya sebenarnya sudah tahu dan sudah berkali-kali mendengarkan hal yang sama. Dakwah yang tidak menyentuh realitas yang tengah dihadapi sasaran dakwah;
- Dakwah Kontekstual. Dakwah untuk menjawab kebutuhan sasaran dakwah. Kebutuhan untuk keluar dari kebodohan melalui pendidikan. Kebutuhan keluar dari kemiskinan dengan ekonomi. Dan seterusnya. Dakwah bil hal ada di kategori ini.
Untuk lebih memberikan relevansi,
dengan tuntutan zaman, Dakwah Kontekstual harus diperluas maknanya. Bukan hanya
yang bisa menjawab kebutuhan saat ini, tapi sudah harus bisa menjawab masa
depan. Masa depan tentu erat kaitannya dengan desain. Desain seperti apa yang
diinginkan untuk diwujudkan dalam masyarakat Islam Indonesia masa depan.
Desain itu haruslah desain yang bisa
mewujudkan cita-cita semua orang. Cita-cita yang sudah sejak kecil
diperdengarkan namun tidak pernah dijelaskan dan tidak pernah ada penjelasan
bagaimana road map untuk mencapainya. Yang pertama dalam konteks
personal, adalah doa yang kita kumandangkan setiap hari, yang tertera di
surat Al Baqarah ayah 15: Rabbana aatina fi ad-dunya hasanah wa fi
al-akhirati hasanah wa qina ‘adzabannar. Ya Tuhan kami, karuniakanlah untuk
kami kebaikan hidup di dunia dan akhirat, dan selamatkanlah kami dari api
neraka.
Dalam bermasyarakat dan berbangsa,
cita-cita itu tertera di surat Saba’ ayat 15: baldatun thayyibatun wa rabbun
ghafur. Negeri yang makmur yang penuh dengan pengampunan Tuhan. Indonesia
yang adil makmur dengan roh ketuhanan.
Itulah cita-cita personal kita
sebagai seorang manusia, dan cita-cita komunal kita sebagai bangsa.
Desain dan cita-cita sudah
ditetapkan, tapi road map untuk mewujudkan desain itu yang belum pernah
dirumuskan. Karena itu para pendakwah juga belum bisa secara massif
mendakwahkan desain masa depan itu.
Korporatisasi Usaha Individu
Kita punya problem mendasar untuk
mayoritas umat Islam, terutama di pedesaan. Mungkin sangat sulit merumuskan
desain masa depan tanpa mengubah struktur yang ada. Terutama struktur
perekonomian mereka. Penguasaan aset perekonomian yang kecil dan bersifat
individual akan menjadi faktor yang amat sulit untuk menciptakan desain besar,
baik dalam konteks cita-cita personal maupun komunal.
Kepemilikan sawah oleh individu
muslim yang kecil-kecil, pada akhirnya hanya akan jatuh ke para penyewa besar.
Kepemilikan ternak yang hanya satu-dua ekor di masing-masing individu muslim,
juga tidak akan bisa memberi dampak besar bagi peningkatan kesejahteraan dan
kualitas kehidupan secara umum.
Kita membutuhkan sebuah desain
gerakan dakwah bil hal yang masiv untuk menjawab permasalahan itu.
Sebuah desain yang tidak hanya berorientasi kekinian tapi juga menjangkau masa
depan. Saya mengistilahkan desain itu: Korporastisasi Usaha Individu Umat.
Tujuan korporatisasi usaha individu
umat sejalan dengan tujuan dakwah, sebagaimana rumusan dakwah dari Amrullah
Ahmad (1985): eksistensi dakwah mengubah realitas sosial yang ada ke realitas
sosial yang baru.
Ke depan umat harus yakin bahwa
“usaha bersama” lebih baik daripada “usaha sendiri” yang kecil-kecil.
Korporatisasi -tidak harus dalam pengertian membuat perusahaan, apalagi
konglomerasi- akan mengubah desain ekonomi umat masa depan. Saya terkesan
dengan rumusan dakwah dari Andi Abdul Muis (2001): dakwah jangan hanya terfokus
pada masalah agama, tapi harus mampu menjawab realitas keadaan di pedesaan.
Realitasnya, umat di pedasaan
terbelit pada kepemilikan aset produksi yang kecil, yang tidak akan bisa
digerakkan sebagai kekuatan ekonomi. Korporatisasi Usaha Individual bisa
menjadi jalan keluarnya. Hanya saja dalam korporatisasi ini diperlukan pihak
ketiga yang akan menjadi penjamin fasilitas pendanaan (avalis).
Adanya avalis menjawab persoalan
yang selama ini menjadi kendala bagi pendanaan usaha kecil umat. Sebab
fasilitas pendanaan perbankan umum maupun perbankan syariah sangat besar untuk
mendukung misi korporasitasi usaha individual umat ini. Yang belum cukup adalah
siapa lembaga atau pihak yang menjadi penjaminnya. Avalis bisa menjadi jembatan
bagi individu pengusaha kecil untuk menjangkau pendanaan perbankan.
Maka sudah waktunya konsep zakat
juga lebih akomodatif terhadap keperluan riil masa depan itu. Peranan zakat
orang kaya yang 2,5% dari aset mungkin terlalu kecil dampaknya bagi pekerjaan
sangat besar mengangkat perekonomian umat yang mayoritas miskin itu. Tapi
peranan orang kaya (aghniya’) atau pemilik modal akan menjadi lebih
berarti jika diposisikan dalam konteks membangun korporatisasi usaha individu
umat itu.
Avalis bisa dilakukan dalam dua
bentuk. Pertama, pemilik modal berada di luar, hanya bertindak sebagai penjamin
atas jalannya usaha individu. Kedua, pemilik modal masuk ke dalam menjadi bagian
dari korporasi usaha individual itu.
Harus ada tempat bagi peran avalis
dalam praktik ekonomi syariah. Sebab konteks hukum fikihnya berbeda dengan
sedekah atau infaq. Penerima sedekah dan infaq tidak memiliki ikatan apa pun
dengan pemberi sedekah. Apalagi ikatan formal. Penerima sedekah dan infaq bisa
menggunakan dana untuk apa pun, termasuk untuk hal yang hanya bersifat
konsumtif.
Sementara avalis dan pihak yang
dijamin terikat dalam sebuah akad, baik moral maupun formal. Avalis memiliki
tanggung jawab untuk turut mengembangkan usaha pihak yang dijamin. Sebab tujuan
dari proses ini bukan sebatas memberi jaminan, tapi bagaimana agar yang dijamin
bisa berkembang dan “berubah dari realitas sosial yang ada ke realitas sosial
yang baru”.
Sebagai contoh, 100 orang miskin
tidak mungkin bisa membeli sapi untuk diternakkan. Apalagi dalam jumlah yang
memenuhi skala keekonomian. Mereka juga tidak mungkin mendapat fasilitas
pinjaman dari bank. Dengan niat dan tekad dakwah bil hal, seorang aghniya
bisa menjadi avalis bagi mereka, sehingga perbankan atau lembaga keuangan bisa
mengucurkan dana untuk pembelian sapi bagi kelompok tersebut, dalam jumlah yang
sesuai dengan skala keekonomian. Sapi-sapi itu ditempatkan dalam sebuah kandang
komunal dengan prinsip-prinsip korporasi dalam pengelolaannya.
Tentu saja tidak bisa hanya berhenti
pada pembelian sapi. Agar usaha berkembang sesuai tujuan yang dicanangkan, maka
dakwah bil hal harus diperluas dalam bentuk pendampingan, pelatihan,
pembinaan, sehingga benar-benar menjadi sebuah gerakan perubahan.
Bentuk lainnya adalah optimalisasi
lahan-lahan kecil dan terbatas milik petani. Misalnya dengan membentuk kelompok
tani yang menanam buah-buahan tropik. Pasar buah tropik di dalam negeri sangat
besar, dan memiliki potensi untuk diekspor ke manca negara. Pengelolaannya
bertumpu pada asas korporasi, sehingga lebih tertata, terukur, dan bisa
dipertanggung jawabkan.
Indonesia yang menurut
lembaga-lembaga internasional akan menjadi negara terbesar ke 7 di dunia di
tahun 2030, tentu akan menjadi negara yang sangat maju dan modern. Di sini
memerlukan modernisasi juga di bidang pertanian, peternakan dan sektor-sektor
pedesaan lainnya. Kalau tidak maka di tengah-tengah kemajuan dan kemodernan
Indonesia saat itu nanti akan terdapat mayoritas masyarakat Indonesia di
pedesaan yang tetap tertinggal.
Korporatisasi usaha individual di
mayoritas penduduk pedesaan kita adalah jalan untuk menuju Indonesia yang maju
dan modern secara seimbang. Tanpa korporatiasi usaha individual di pedasaan
maka jalan untuk menuju masyarakat maju dan modern itu akan terhambat secara
mendasar di pedesaan.
Korporatisasi usaha individu sebagai
implementasi dakwah bil hal bisa diterapkan di bidang usaha apa saja,
sesuai dengan potensi yang ada di sebuah desa. Inilah ladang baru bagi para aghniya,
yang lebih menjamin amal mereka memberi manfaat dan dampak yang besar, bukan
hanya di masa kini tapi juga masa depan.
Yang bisa bertindak sebagai avalis
tidak hanya sebatas individu, tapi bisa juga korporasi. Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) adalah korporasi yang didesain tidak semata mengejar keuntungan,
tetapi juga mengembangkan berbagai upaya untuk mendukung percepatan terwujudnya
kesejahteraan rakyat.
Melalui program-program khusus yang
relevan, BUMN akan menjadi perintis pengembangan korporatisasi usaha individu
ini. Rintisan itu diharapkan akan menjadi stimulus bagi berbagai pihak, baik
individu maupun lembaga dan korporasi, untuk mengembangkan hal yang sama,
sehingga menjadi sebuah gerakan dakwah bil hal dalam skala yang luas.
Harus diingat, korporasi memiliki
tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam konteks ushul al fiqh,
kepedulian itu merupakan penjabaran kaidah dar’ul mafasidi muqaddamun ‘ala
jalbil mashalih: mencegah kerusakan harus didahulukan dibanding memperoleh
kemanfaatan. Jika sebuah korporasi hidup di tengah lingkungan yang miskin,
terbelakang, dan tetinggal, maka kelangsungan bisnisnya akan menghadapi banyak
gangguan dan hambatan. Oleh sebab itu, perusahaan harus menunjukkan kepedulian
untuk mencegah kerusakan pada masyarakat dan lingkungan di sekitarnya, sehingga
bisa memperoleh manfaat dari sustainabilitas bisnis yang terjaga.
Itulah jenis dakwah bil hal
yang berdimensi masa depan.
Jangan hanya memberi ikan.
Berilah kail.
Jangan hanya memberi kail.
Berilah juga kolam.
Jangan hanya memberi kail dan kolam
Ajaklah ke kolam untuk bersama
memancing ikan
Korporatisasi usaha individu akan
membuat seseorang bisa membuat kolam, membuat kail, memancing bersama dan
akhirnya mendapat ikannya.
*)Disertai permintaan maaf kepada
berbagai perguruan tinggi yang di masa lalu menawarkan gelar Doktor HC kepada
saya, tetapi saya itu tidak bersedia memenuhinya.
EmoticonEmoticon