SEBELUM CEO Jawa Pos Grup Dahlan Iskan dipercaya sebagai
Direktur Utama PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), buku ketujuh berjudul
“Warisan GO Samola” yang ditulis Dahlan Iskan sempat menjadi bahasan diskusi
yang cukup ramai di milis internal kami. Dan Saya hanya bisa menjadi pembaca
setia diskusi yang luar biasa ramainya itu. Maklumlah, Saya memang belum
memiliki buku itu. Beruntung, ada yang berbaik hati mengirimkan tiga eksemplar
buku itu ke Sampit. Hanya dalam waktu dua jam, buku yang mengajarkan tentang
sikap dan gaya kepemimpinan itu tuntas Saya baca.
Terlalu banyak yang menanyakan “kisah sukses” Jawa Pos. “Bagaimana ceritanya?”, “Apa saja yang dilakukan sehingga perusahaan yang hampir bangkrut di tahun 1982 itu bisa berjaya seperti wujud sekarang?”, “Di mana kunci rahasianya?”, “Ceritakan dong kiat-kiatnya?”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan kepada Dahlan Iskan saat menjadi pembicara pada sebuah seminar. Biasanya Dahlan menolak untuk bercerita. Bukan karena pelit, tapi dia berkeyakinan bahwa cerita-cerita sukses masa lalu hanya akan membuat orang terlalu mengagungkan masa yang silam. Lalu terlena untuk memikirkan masa depan. Sering juga cerita keberhasilan masa lalu itu justru dipergunakan untuk “meneror” generasi baru : agar meniru, agar menghormati, agar mengenang.
Dahlan memiliki pandangan bahwa yang demikian itu sangat berbahaya. Berbahaya bagi generasi penerus, juga berbahaya bagi kejiwaan orang itu sendiri. “Saya percaya setiap generasi memiliki zamannya sendiri. Dan setiap zaman memiliki generasinya sendiri,” tulis Dahlan dalam pengantar bukunya.
Menurut Dahlan, yang diperlukan generasi baru adalah bukan warisan kisah-kisah sukses masa lalu. Melainkan kepercayaan untuk menerima tanggung jawab. Dan itu hanya terjadi apabila ada kerelaan dari generasi lama untuk secara bertahap menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya kepada generasi baru. Sebuah penyerahan yang ikhlas. Bukan penyerahan dengan niat menghibur, mencoba, kasihan, apalagi menjebak. Dahlan percaya bahwa sebuah tanggung jawab akan muncul dengan sendirinya manakala kepadanya diberikan sebuah kepercayaan. Mungkin, memang ada risikonya, misalnya, salah langkah. Tapi itulah harga yang harus dibayar. Itulah biaya “sekolah” di dunia yang sebenarnya.
“Saya selalu mengatakan, memangnya saya dulu tidak pernah salah. Saya pun telah membuat begitu banyak kesalahan. Di masa lalu, dan mungkin masih juga akan terjadi di masa yang akan datang,” ucap Dahlan memberikan testimoni saat Jawa Pos berulang tahun ke-60.
Yang disesalkan Dahlan, seminar-seminar yang diadakan sering meminta dirinya berbicara mengenai topik “kisah-kisah sukses”. Belum pernah ada seminar yang meminta dirinya berbicara dengan topik “kisah-kisah kesalahan dan kegagalan Dahlan Iskan”. Menurut dia ini tidak fair. “Saya pernah menghitung lebih dari 1.000 kesalahan yang saya perbuat. Kalau mau dinilai dengan uang kesalahan itu melebihi Rp 50 miliar,” tulisnya.
Hannya saja, sambung Dahlan, karena perusahaan yang dia pimpin juga berhasil menghasilkan uang triliunan rupiah, jadinya kesalahan itu kurang terlihat. Tapi, kalau direnungkan uang Rp 50 miliar tidaklah kecil. Menurut mantan wartawan Majalah Tempo itu, itulah biaya sekolah yang harus dipikul perusahaan untuk “menyekolahkan” dirinya hingga bisa mencapai seperti sekarang.
Menurut Dahlan, begitulah di sebuah perusahaan : benar atau salah kadang baru diketahui dari hasilnya. Sesuatu yang diyakini benar, hasilnya bisa salah. Sesuatu yang diyakira salah ternyata benar. Tapi memang sering juga sesuatu yang semula benar akhirnya memang sangat benar.
***
Sosok Ciputra dan Eric Samola tak bisa dilepaskan dari Dahlan Iskan. Dua sosok tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap Dahlan Iskan. Ciputra mengajarkan warisan “Go” kepada Eric Samola sejak dirinya belum menjadi konglomerat utama di Indonesia seperti sekarang. Yakni ajaran tentang speed, kecepatan mengambil keputusan berdasarkan logika berpikir yang baik, hati yang bersih, dan pikiran yang positif.
Lalu Eric Samola mengajarkannya kepada Dahlan Iskan. Dengan cara dan dinamika yang sama. Ini terlihat dari bagaimana proses pembelian PT. Jawa Pos di tahun 1982 yang begitu set-set wuet. Juga dari cara Eric Samola menunjuk Dahlan Iskan untuk memimpin Jawa Pos.
Itulah warisan ilmu manajemen, gaya kepemimpinan dan dinamika berusaha yang meski Eric Samola kemudian di tahun 1990 jatuh sakit yang sangat serius dan kemudian meninggal dunia, tetap hidup sampai sekarang. Warisan “go!” itulah rupanya yang membuat Jawa Pos dari sebuah Koran hampir mati menjadi sebuah Koran terbesar di Indonesia (hasil riset AC Nielsen awal tahun 2009), bahkan berkembang menjadi jaringan surat kabar yang tersebar luas, seluas wilayah Nusantara dengan lebih 100 koran (termasuk Radar Sampit, koran yang sedang Anda baca sekarang) di bawah naungannya. Juga berkembang menjadi sebuah grup bisnis dengan pabrik kertasnya, power plant-nya, jaringan percetakannya, dan tentu juga jaringan TV lokalnya yang sudah mencapai 20 buah lebih.
“Go”, dan atau “No Go” rupanya bukan hanya suatu pilihan tapi juga sebuah sikap. Orang tidak boleh berada diposisi “atau” selalu ada di tengah-tengah “go” dan “no go” itu.
***
Kamis, 3 Desember lalu di Hotel Gran Mahakam Jakarta, mencuatnya nama Dahlan Iskan sebagai kandidat kuat calon Dirut PLN juga menjadi tema hangat pertemuan para Pemimpin Redaksi Jawa Pos Grup yang Saya ikuti. Setiap kali digelar pertemuan Forum Pemimpin Redaksi Jawa Pos Grup, Dahkan Iskan memang selalu hadir. Dia selalu kami daulat untuk memberikan pencerahan tentang segala hal. Memang seperti itu yang dimaui Dahlan. Ia memberikan kebebasan kepada kami untuk bertanya tentang apa saja.
Disaat kami berdiskusi membahas isu-isu terkini perkembangan media massa, biasanya ia lebih sering memonitornya dari kursi dideretan belakang. Hal-hal kecil manakala diskusi sedang berjalan acap ia simak. Ia lantas memberi nilai tentang kualitas diskusi kami. Kepada kami, ia ingin memberikan pelajaran mengenai cara berdiskusi yang efektif. Pernah suatu kali ia menyela ketika setiap penanya menyampaikan salam pembuka menurut keyakinannya sebelum bertanya kepadanya. Karena sebagian besar dari kami adalah muslim, Dahlan meminta kami mengucapkan “Assamualaikum” secara koor. Cukup sekali itu saja ia menjawab salam itu. Selanjutnya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan langsung pada pokok permasalahan tanpa perlu lagi mengucapkan salam. Kami tersenyum geli setelah itu.
Di balik kebanggaan yang kami rasakan setelah mengetahui Dahlan Iskan menjadi calon kuat Dirut PLN, sebagian besar dari kami juga mencemaskan apabila Dahlan Iskan benar-benar terpilih sebagai Dirut PT. PLN. Bagi kami, terpilihnya Dahlan Iskan sebagai Dirut PLN juga menjadi pertaruhan nama Jawa Pos Grup. Jika Dahlan berhasil mengangkat PLN dari keterpurukan, itu bukan menjadi persoalan. Lalu, bagaimana jika gagal? Bagaimana pula resistensi Dahlan Iskan terhadap penolakan di internal PLN? Belum lagi mengenai sikap Jawa Pos Grup terhadap kebijakan-lebijakan PLN apabila benar dirinya terpilih sebagai Dirut PLN. Termasuk kecemasan akan kondisi kesehatannya setelah dibebani pekerjaan berat mengurusi perusahaan setrum itu.
Di balik kekhawatiran-kekhawatiran tersebut, kami menyampaikan harapan agar Dahlan Iskan mampu membenahi PT. PLN yang sedang dalam kondisi terpuruk, sebagaimana “kisah sukses” dirinya dalam membesarkan Jawa Pos dan bisnis lainnya seperti sekarang. Dahlan rupanya sangat sadar bahwa pekerjaan berat akan dihadapinya apabila benar terpilih sebagai Dirut PLN. Yang membuat dirinya cukup percaya diri, ia telah memiliki bekal dalam mengurusi perusahaan. Sebab prinsip-prinsip dalam sebuah korporasi tidaklah banyak berbeda.
“Saya pun sekarang sangat sehat sekali, hasil checkup kesehatan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan kesehatan saya,” kata Dahlan.
Kepada kami – para Pemimpin Redaksi Jawa Pos Grup, ia pun meminta agar menyikapinya seperti biasa saja apabila benar dirinya terpilih sebagai Dirut PT. PLN. “Tetaplah kritis terhadap kebijakan-kebijakan PLN walau saya jadi dirut-nya,” pinta Dahlan. (jid@radarsampit.com)
EmoticonEmoticon