Komisi VII DPR berencana mengagendakan studi banding ke luar negeri jika pembahasan RUU Migas sudah memasuki tahapan yang krusial dan membutuhkan perbandingan negara lain pada masa sidang depan. Pada masa sidang ini Komisi VII memang tidak ada agenda melakukan studi banding ke luar negeri walaupun sebenarnya hal itu dirasakan sangat diperlukan. ;
Menurut Ketua Komisi VII Teuku Riefky Harsya, apabila melihat fungsi dan kewenangan Komisi VII yang membidangi energi, sumber daya mineral, teknologi serta lingkungan tentu banyak hal yang menuntut diadakannya kunjungan ke luar negeri. ;
Dicontohkannya, terkait dengan sektor minerba, karena di amanah UU No 4 tahun 2009 dinyatakan bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral atau batubara dalam pelaksanaan, pengolahan dan pemurnian serta pemanfaatan mineral dan batubara maka mau tidak mau barang yang akan diekspor harus melalui proses smelting.
Sedangkan hal itu harus sudah ada proses pembangunan smelter pada tahun 2014. Padahal, dijelaskannya, hingga saat ini kesiapan dari pemerintah atau sektor swasta maish belum maksimal.
"Sebetulnya ada keinginan dari Komisi VII untuk melihat itu terutama di negara-negara pembeli utama (buyer) dari produk mineral kita misalnya Jepang. Selain itu ada hal lain semisal kelistrikan seperti geothermal contohnya di Philipina yang punya potensi geothermal tapi mereka bisa maksimalkan itu sebagai program unggulan dalam menjaga kebutuhan listrik negaranya dan ada beberapa negara lain," kata Riefky kepada Jurnalparlemen.com di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (6/12).
Namun, politisi Partai Demokrat ini mengungkapkan kebutuhan itu belum bisa disetujui oleh pimpinan DPR, dikarenakan kondisi opini publik. Di samping itu setelah dilakukan rapat internal akhirnya keinginan tersebut akhirnya dibatalkan karena kebijakan Pimpinan DPR menyatakan komisi yang bisa melakukan kunjungan ke luar negeri hanya yang berkaitan dengan pembahasan undang-undang. ;
"Sebagian anggota juga menyayangkan hal itu, karena dianggap ini salah satu kegiatan yang harus didukung dalam mencari solusi terkait persoalan yang ada di sektor energi. Baru kalau dikaitkan dengan RUU Migas memang tahapannya saat ini belum sampai tahapan yang memerlukan untuk kunjungan keluar negeri atau studi banding. Nanti kita akan agendakan di masa sidang depan jika tahapan pembahasan sudah mencapai tahapan untuk melihat perbandingan ke luar negeri," ujarnya.
Ketika dikonfirmasi, bagaimana upaya Komisi VII dalam mendapatkan informasi jika kebijakan Pimpinan DPR hanya membolehkan kunjungan ke luar negeri yang terkait pembahasan RUU, Riefky mengungkapkan dengan ketebatasan kebijakan yang ada maka Komisi VII berusaha mencari informasi dari dunia maya dan masukan dari para pakar dan sebagainya.
"Ya kita terpaksa mencari dengan jalan lain yakni internet, mengundang pakar atau stake holders yang pernah melihat langsung objek di luar negeri. Tetapi kami tetap menyayangkan hal itu karena kami tidak bisa langsung. Lain kita dengar dari orang dengan melihat atau dialog langsung dengan pemilik pabrik atau ahli," katanya.
"Sebab Jepang, saja saat ini masih melobi pemerintah pusat untuk kebijakan pembangunan smelter di tahun 2014 agar ditunda atau ditinjau waktu implementasinya. Nah ini juga bagian kita dari parlemen ada agenda dengan parlemen Jepang, kenapa kita ada tuntutan dari masyarakat atau UU bahwa hal ini dilakukan, walau masih terbuka peluang untuk win-win solutions nanti," imbuhnya.
Ke depannya, Riefky mengungkapkan diharapkan kebijakan pelarangan studi banding ke luar negeri diharapkan tidak disamaratakan. Namun harus ada poin-poin untuk pengecualian terhadap kungjungan yang bersifat kerja. Karena studi banding tentunya telah memiliki target sasaran yang jelas, termasuk tujuan, agenda, momentum ataupun pihak-pihak yang akan menjadi rujukan. Selain, sistem transparansi tentu menjadi hal yang tidak terelakkan sehingga bisa dipertanggungjawabkan.
"Kita sangat memahami posisi pimpinan DPR karena adanya tekanan publik dan kami sangat harapkan pemahaman dari masyarakat khususnya juga termasuk media dan lainnya, bahwa keluar negeri itu di jaman globalisasi saat ini bukan untuk ber mewah-mewahan. Selain belajar, kita juga bisa mensosialisasikan regulasi di negara lain. Artinya pandangan dunia kepada Indonesia terutama pada regulasi di Indonesia yang dibilang tumpang tindih dan complicated atau carut marut itu bagian dari PR kita," tegasnya.
(nwk/nwk)
EmoticonEmoticon