"Ada 3 pandangan. Yaitu pertama, melihat anak sebagai masa lunak, kedua melihat anak sebagai property right dan ketiga melihat anak sebagai orang yang punya kehendak," beber psikolog forensik Universitas Bina Nusantara (Ubinus) Jakarta, Indra Rezagiri Amriel, saat berbincang dengan detikcom, Rabu (7/12/2011).
Lebih lanjut Reza menjelaskan, pandangan pertama menilai anak-anak adalah masa-masa labil secara psikis atau psikologis. Oleh karenanya dia harus berada di bawah asuhan ibu karena kebutuhan fisik seperti menyusui atau psikologis.
Alasan kedua menilai anak sebagai kekayaan/property sehingga yang berkuasalah yang berhak menguasai. Dalam hal ini adalah ayah.
"Nah, perkembangan ketiga, adalah memandang anak-anak itu mempunyai kemauan memilih. Ikut ibu atau ayah," beber Indra.
Dalam konteks hukum Islam, secara umum anak pasca cerai diminta untuk ikut ibu. Sebab ibu dianggap lebih mengerti jiwa anak.
"Kalau anak belum baligh, pasca cerai maka anak ikut ibu. Tetapi kalau sudah baligh, pada saat itulah dia diminta untuk memilih diasuh oleh siapa, ikut ayah atau ibu," papar ahli hukum Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarifhidayatullah, Jakarta, Nurul Irfan.
Namun apabila Ibu tersebut tidak cakap, contohnya karena boros, menjadi pelacur dan sebagainya, maka hakim bisa memutuskan sebaliknya. Yaitu anak ikut ayah.
Tetapi timbul masalah lagi, bagaimana jika anak diputus hakim ikut ayah. Namun sang anak tetap ingin ikut ibunya.
"Disinilah hakim harus bijaksana mendengar berbagai pihak. Tidak boleh sembarangan memutus," tandas Nurul.
(asp/mok)
EmoticonEmoticon